Saturday, December 2, 2023
Mesin Pelet Kayu Indonesia

Wood Pellet (Pelet Kayu)/Serabut Sampah Sebagai Co-firing Biomassa pada PLTU Batubara

Indonesia adalah gud…

By Fathur , in bbm wood Mesin Pelet Kayu pelet kayu , at 2021-07-12 标签:, , , , , , , , ,

Indonesia adalah gudang biomassa dunia dengan perkiraan produksi 200juta ton biomassa per tahun yang berpotensi menghasilkan energi listrik sekitar 32,6GWe. Hal itu berasal dari 94,1juta Ha hutan (2019) atau 50,1% dari total daratan (hasil pantauan Dirjen PKTL, KLHK (Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Akan tetapi, pemanfaatan biomassa hingga saat ini masih amat rendah, yaitu hanya sekitar 1.890MW untuk PLT (Pembangkit Listrik Tenaga) Bioenergi yang berupa PLTBm (Biomassa) dan PLTBg (Biogas).

Selain itu, masih ada sekitar 57juta Ha lahan terdegradasi, dan 14juta Ha di antaranya telah menjadi lahan kritis yang kurang berfungsi untuk ditanami, sebagai akibat dari 1) berkurangnya lahan basah seperti pada 3,4juta Ha hutan bakau/mangrove (1,8juta Ha kritis) dan 14,9juta Ha lahan gambut; 2) perluasan lahan pertanian; 3) lahan industri yang tidak ramah lingkungan; dan 4) dinamika penggunaan lahan (lahan prima jadi lahan kritis). Lahan kritis itu perlu segera dipulihkan, dengan cara misalnya pembuatan hujan buatan, sumur resapan, menghidupkan mata air dengan penanaman di sekitar sumber mata air, dll., agar menjadi lahan produktif kembali. Langkah lainnya adalah melakukan penanaman pohon HTE (Hutan Tanaman Energi) atau HTI (Hutan Tanaman Industri) di lahan kritis yang bila tiba saatnya akan berpotensi menjadi sumber biomassa baru di masa depan. Upaya ke arah itu telah banyak dilakukan, misalnya pemanfaatan silvikultur (budidaya/tegakan hutan produksi dan hutan tanaman) dan agroforestri (budidaya tanaman hutan + tanaman pertanian/peternakan) melalui dukungan APBN, APBD, dan swasta, meski capaiannya hanya sekitar 232.250 Ha per tahun.

Pemulihan itu dimaksudkan untuk mendukung target bauran EBT (Energi Baru dan Terbarukan) 23% pada tahun 2025, dimana PLT EBT yang terdiri atas PLTP (Panas bumi), PLTS (Surya), PLTA (Air), PLTM (Minihidro), PLTMH (Mikro-Hidro), PLTB (Bayu), PLTAL (Arus Laut), dll) ditargetkan memberikan porsi 13-15%, sedangkan PLT Bioenergi sekitar 2-5%, dan BBNabati sekitar 2-3%. Sementara, kapasitas terpasang listrik EBT masih sekitar 10,4 GW atau 15% dari total kapasitas terpasang Pembangkit Listrik (69 GW).

Biomassa itu banyak bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Ia berupa bahan organik yang berumur relatif muda dan berasal dari tumbuhan atau hewan, hutan tanaman industri, produk dan limbah industri budidaya (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan), dan sampah kota. Contoh limbah pertanian, misalnya jerami/sekam padi, tongkol jagung, kacang-kacangan, dll); limbah perkebunan, misalnya limbah tanaman industri (ranting/cabang tumbuhan, tandan kosong sawit, dll), limbah pabrik furnitur (serbuk gergaji dan tatal); pabrik gula (bagas/ampas tebu, dll). Sehubungan dengan itu, komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa adalah sisa industri kelapa, kelapa sawit, tebu, karet, padi, jagung, ubi kayu, kayu, peternakan (kotoran sapi), dan industri sampah kota. Limbah tersebut sebelum dimanfaatkan lebih lanjut perlu diubah dulu bentuknya menjadi serpih kayu (wood chips), serbuk gergaji, pelet/serabut sampah, dan pelet kayu.

Pelet kayu menjadi pilihan menarik akhir-akhir ini terutama sebagai bahan bakar penghangat ruangan (di negara yang memiliki musim dingin), kompor (rumah tangga dan resto/kuliner), burner (industri olah makanan, pengeringan teh/jagung/tembakau/ikan, dll), dan yang sedang naik daun adalah sebagai campuran batubara (1-5% berasal dari pelet kayu atau pelet/serabut sampah via teknologi yang disebut co-firing biomassa) di PLTU batubara guna menghasilkan listrik. Idealnya, persentase itu harus terus meningkat dari tahun ke tahun hingga akhirnya mencapai 100% biomassa sebagai bahan bakar PLTU, sekaligus mengurangi emisi karbon dunia.

Program co-firing biomassa itu sungguh menarik. Isu pencemaran lingkungan oleh jutaan ton gas CO2 sebagai emisi GRK (Gas Rumah Kaca) (PLTU batubara 1 GW menghasilkan emisi 6 juta ton CO2 per tahun) yang dibuang ke udara oleh PLTU batubara memaksa seluruh negara di dunia untuk menghentikan pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar PLTU, dan selanjutnya harus diganti secara bertahap oleh bahan bakar lain yang lebih ramah lingkungan, dan pilihan itu jatuh pada biomassa pelet kayu dan pelet/serabut sampah. Indonesia berada di 10 besar negara teratas dalam emisi GRK (Des 2019), tepatnya sebagai penyumbang emisi GRK terbesar kelima dunia (di bawah China, AS, Inggris, Jerman), dan penyumbang terbesar emisi GRK dari sektor kehutanan yang pada gilirannya akan menjadi penyebab perubahan iklim.

Seluruh Negara di dunia diingatkan bahwa pada tahun 2030 emisi GRK secara global akibat cemaran gas CO2 harus turun setengahnya dan pada tahun 2050 emisi itu harus mencapai karbon netral atau emisi nol. Bersamaan dengan itu, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement to the UNFCCC (tahun 2015) melalui UU No.16 tahun 2016, dengan rencana target penurunan GRK pada tahun 2030 hingga 29% (834 juta ton CO2) di bawah skenario tanpa intervensi (business as usual/BAU, yaitu sekitar 2.869 juta ton CO2) atau sampai dengan 41 % (1.081juta ton CO2) bila ada dukungan teknologi dan dana internasional. Target 29% itu akan ditekankan kepada penurunan emisi karbon di sektor kehutanan (17,2%), energi (11%), pertanian (0,32%), industri (0,1%), dan limbah (0,38%). Caranya adalah 1) melakukan restorasi lahan gambut hingga 2,4juta Ha pada tahun 2030; 2) moratorium/penangguhan pembangunan PLTU batubara; 3) phase out/menghentikan operasi PLTU batubara secara bertahap; 4) peningkatan efisiensi PLTU batubara dengan implementasi teknologi rendah karbon (co-firing); dan 5) penggantian BBM pada sarana transportasi dan industri dengan baterai listrik.

Kenyataan saat ini di lapangan, kapasitas total PLTU batubara (28GW) di Indonesia, telah menghasilkan emisi karbon sekitar 168juta ton/tahun (setara dengan emisi yang dilepas oleh 80juta mobil per tahun). Indonesia masih akan membangun lagi PLTU baru 27 GW, dengan sendirinya akan ada tambahan emisi karbon sekitar 162 juta ton per tahun. Hal itu tidak akan terjadi bila PLTU baru menggunakan BB biomassa (PLTBm), agar tidak bertentangan dengan Paris Agreement yang sudah diratifikasi.

Moratorium dan phase out PLTU batubara kemungkinan sulit dilaksanakan saat ini. Oleh karena itu, implementasi teknologi co-firing biomassa menjadi pilihan yang lebih cepat dan lebih murah untuk dilaksanakan. Akibatnya, permintaan produk pelet kayu dan serpih kayu (dari berbagai sumber limbah kayu atau HTE), dan pelet/serabut sampah akan meningkat pesat jumlahnya guna mengganti posisi batubara.

Di lain fihak, bila batubara tidak lagi digunakan sebagai bahan bakar, ia masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif untuk memproduksi bahan kimia lain, misalnya 1) produk gas (gasifikasi batubara: gas sintetik, gas alam, metanol, LPG, DME/Dimetil Eter, hidrogen; 2) produk petrokimia; 3) membantu industri baja, aluminium, pupuk, semen, kertas, dll.

Kementerian ESDM dan PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) Persero telah menyusun rencana program co-firing biomassa itu dalam bentuk peta jalan (roadmap) pengembangan co-firing biomassa dengan melibatkan berbagai fihak terkait. Tim teknisnya memonitor pelaksanaan komersialisasi co-firing biomassa terutama di sisi pasokan bahan baku (pelet kayu & pelet/serabut sampah) dan skema bisnisnya, pelibatan BUMDes setempat (bangun ekosistem listrik kerakyatan), dan penyiapan RSNI pelet kayu & pelet/serabut sampah.

Sementara, APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) yang terdiri atas 34 perusahaan anggota, mendukung program cofiring biomassa dengan cara berinvestasi dalam penyediaan energi biomassa melalui program HTE, dan 10 perusahaan di antaranya sudah memasukkan ke dalam RKU (Rencana Kerja Usaha) mereka. HTE merupakan energi biomassa masa depan sebagai sumber bahan baku pembangkit tenaga listrik sendiri, sekaligus memasok kelebihan listrik ke PLN atau bila perlu, diekspor ke luar negeri. Misalnya, Perum Perhutani (salah satu anggota APHI), terlibat dalam uji-coba cofiring biomassa di PLTU Paiton, Jawa Timur, dan PLTU Cikarang Listrindo, Jawa Barat. Selain itu, APHI juga mendukung program de-dieselisasi PLTD (Diesel) yang berbahan bakar solar di Kawasan Timur Indonesia, dengan cara mengganti solar ke biomassa yang lebih murah dan lebih melimpah pasokannya secara lokal. Program uji-coba telah dilakukan di Pulau Bawean, Jawa Timur. Catatan Kementerian ESDM menyebutkan bahwa jumlah PLTD yang dioperasikan PLN di Indonesia mencapai 5.200 unit dengan total kapasitas 2,6 GW.

PLN dan anak usahanya (PT PJB, Pembangkitan Jawa Bali) memulai program co-firing biomassa komersial di PLTU Pacitan (kapasitas 2×315 MW) awal Desember 2020. Selanjutnya, PJB menguji-cobakan co-firing biomassa menggunakan 2 biomassa (serbuk gergaji dan pelet kayu) sebanyak 5% pada 13 PLTU, 5 di antaranya adalah PLTU yang berada di Jawa-Bali seperti PLTU Paiton unit 1 & 2 (2×400 MW), PLTU Rembang (2×315 MW), PLTU Pacitan (2×315 MW), PLTU Indramayu (3×330 MW), dan PLTU Paiton unit 9 (1×660 MW). Sementara, PLTU Ketapang (2×10 MW) (Kalbar), PLTU Tenayan (2×110 MW), Pekanbaru (Riau); PLTU Sanggau (2×7 MW) (Kalbar); PLTU Belitung (2×16,5 MW) (Bangka Belitung), PLTU Nagan Raya 1 & 2 (2×200 MW) (Aceh) menggunakan cangkang sawit, dan uji-coba PLTU Tembilahan (2×7 MW), Inhil (Riau) pada boiler unit 2 menggunakan kulit pohon sagu 20%.

Gambar 1. PLTU Pacitan (2 x 315 MW)

PLN sendiri melalui anak usahanya Indonesia Power telah menguji-cobakan co-firing di PLTU Jeranjang (3×25 MW), Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) menggunakan pelet/serabut sampah 3% (potensi 45 ton/hari untuk 3 unit) yang kalorinya setara dengan batubara kalori rendah. PLN yang bekerjasama dengan pemprov NTB melakukan pendampingan kepada pengelola TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Kebon Kongok, agar masyarakat dapat mengubah sampah jadi pelet/serabut dengan teknologi TOSS/JOSS (Tempat/Jeranjang Olah Sampah Setempat), yaitu sampah dalam bak dimasuki cairan bio-activator, supaya proses peuyeumisasi (sampah menjadi lunak, susut, dan memadat) terjadi setidaknya 5 hari, dijemur hingga kering, dicacah, lalu dibiarkan dalam bentuk serabut (semula dipeletisasi yang dicampur perekat/agregat, dijadikan briket untuk BB/bahan bakar kompor, atau pelet untuk BB pabrik/PLTU, lalu dijemur lagi hingga kering). Langkah proses itu dapat dilihat dalam gambar berikut.

Gambar 2. Proses Produksi Pelet/serabut sampah RDF.

Mesin yang digunakan berasal dari program CSR (Corporate Social Responsibility) PLN. Teknologi penyiapan BB pelet/serabut sampah ini sekaligus menjadi solusi menyelesaikan masalah sampah di Provinsi NTB. PLTU lainnya yang diuji-coba adalah PLTU Banten 3 Lontar (3×315 MW) Tangerang (Banten) (eceng gondok /dari PLTA Saguling + SRF/Solid Recovered Fuel, 5% = 8/152), kemudian dilanjutkan ke lima PLTU lainnya secara berturutan, yaitu PLTU Suralaya, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Adipala (660 MW, PC boiler, 9120ton Batubara/hari, 91ton sampah/hari) Cilacap, PLTU Suralaya 8, dan PLTU Labuan (600 MW, PC, 8160/82), Pandeglang, dengan bahan bakar substitusi yang disebut pelet SRF atau RDF (Refused Derived Fuel). Selain itu, PLTU Ropa (pelet/serabut sampah) Flores telah berhasil melakukan uji-coba 10% biomassa yang diperoleh dari TOSS (pelet/serabut sampah). Sementara, PLTU Bolok Kupang, menggunakan co-firing 5% biomassa yang berasal dari wood chips (serpih kayu), dan PLTU Anggrek (2×25 MW) Gorontalo menggunakan serpih kayu lamtoro.

Selanjutnya, PLN berencana akan melaksanakan co-firing biomassa pada 114 unit PLTU dengan total kapasitas 18,154GW yang berada di 52 lokasi. Guna memenuhi kebutuhan 5% co-firing di PLTU di Indonesia (35,220GW), dibutuhkan biomassa sebanyak 17.470 ton/hari (6,4 juta ton/tahun) atau 5 juta ton pelet kayu/tahun. Sementara perlu 749 ribu ton/tahun pelet/serabut sampah untuk 1% co-firing. Potensi biomassa saat ini (200 juta ton/tahun) dirasakan lebih dari cukup untuk memenuhi target co-firing biomassa 5%, bahkan total biomassa yang tersedia mampu menggantikan batubara sepenuhnya, termasuk kebutuhan RDF untuk pabrik semen di Indonesia sebesar 4.309 ton/hari (1,3juta ton/tahun).

Penggunaan pelet kayu selain sebagai campuran batubara juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pelet kayu saja untuk menghasilkan listrik yang disebut PLTBm (Biomassa). Hal itu didorong pengembangannya via Permen ESDM No.50 tahun 2017 yang pelaksanaannya perlu bekerja sama dengan Pemda untuk menyediakan lahan (termasuk lahan tanaman industri dan limbahnya), dan regulasi harga bahan bakar biomassa (pelet kayu) secara jangka panjang, guna menjaga kepastian pasokannya. PLTBm juga menarik untuk dibangun di daerah terpecil atau pulau-pulau kecil sebagai pengganti PLT Diesel dengan memanfaatkan biomassa lokal.

Sementara, total potensi kayu hasil hutan yang dijadikan pelet kayu bila disetarakan dengan besaran listrik, diperoleh sebesar 1.335 MWe. Potensi tersebut tersebar di Sumatera (1.212 MWe), Kalimantan (44 MWe), Jawa, Madura dan Bali (14 MWe), Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (19 MWe), Sulawesi (21 MWe), Maluku (4 MWe) dan Papua (21 MWe) dengan nilai kalori sebesar 3.300-4.400 kkal/kg.

Di sisi lain, volume biomassa dari sampah kota yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar PLTU dalam bentuk pelet/serabut sampah, sungguh sangat besar, yaitu sebesar 20.925 ton/hari (7,64juta ton/tahun) yang terkonsentrasi pada 15 tempat pengelolahan sampah kota, seperti DKI Jakarta (6,700 ton/hari), Kota Bekasi (1.500 ton/hari), Kabupaten Bekasi (450 ton/hari), Batam (760 ton/hari), Semarang (950 ton/hari), Surabaya (1.700 ton/hari), Kota Tangerang (1.200 ton/hari), Denpasar dan Badung (1.155 ton/hari), Kota Depok dan Kabupaten Bogor (1.500 ton/hari), Makasar (1.000 ton/hari), Bandung (1.630 ton/hari), Surakarta (550 ton/hari), Malang (800 ton/hari), Regional Jogja (440 ton/hari) dan Balikpapan (290 ton/hari). Nilai kalori pelet/serabut sampah yang dihasilkan sekitar 2.900-3.400 kkal/kg.

Timbulan sampah itu diperkirakan sekitar 67,8juta ton (2020), 68,5juta ton (2021), 69,2juta ton (2022), 69,9juta ton (2023), 70,6juta ton (2024), dan 71,3juta ton (2025). Artinya, bila fasilitas RDF dibangun dalam rentang waktu 2020-2024, akan menghasilkan listrik sekitar 7,02 GW. Gambar berikut melukiskan contoh fasilitas/instalasi pengolah sampah RDF di Kabupaten Cilacap (produksi sampah 120ton/hari).

Gambar 3. Siklus Olah Sampah Kab. Cilacap
Gambar 4. Pabrik RDF di TPA Tritih Lor, Cilacap

Bila memperhatikan RDF sampah untuk boiler pada PLTU, PLN menjelaskan bahwa ada tiga jenis teknologi boiler, seperti yang terlihat dalam gambar berikut :

Gambar 5. Tiga jenis Teknologi Boiler pada PLTU.

1) 43 tipe PC (Pulverized Coal) dengan total kapasitas 15.62 GW, membutuhkan campuran 5% biomassa atau setara 10.210 ton/hari; Contoh: PLTU Suralaya unit 1-4 (4x400MW), unit 5-7 (3x600MW), Cilegon, Banten. 2) 38 tipe CFB (Circulating Fluidized Bed), total kapasitas 2,435 GW, membutuhkan 5% biomassa atau setara 2.176 ton/hari; Contoh: PLTU Labuhan angin (2x115MW), Sumut; PLTU Nagaraya (2x110MW), NAD. 3) 23 tipe STOKER dengan kapasitas 220 MW, menggunakan 100% biomassa atau setara 5.088 ton/hari. contoh: PLTU Galang Batang (2x15MW, 576ton/hari), Bintan, Kep Riau; PLTU Berau (2x7MW, 336 ton/hari), Kaltim.

Limbah biomassa misalnya tankos (tandan kosong sawit), jerami / sekam, serbuk gergaji, serutan dan serpihan kayu, potongan dahan, ranting, serasah, dan kayu rejeksi dari pabrik plywood, limbah kayu dari replanting pohon sawit dan karet, dll diketahui sangat banyak. Akan tetapi, lokasi mereka tersebar dimana-mana yang kadangkala jumlah mereka masih kecil untuk memasok pelet ke PLTU setempat, sehingga pengumpulan mereka membutuhkan waktu, biaya dan gudang transit sebelum dikirim ke pabrik pelet dekat PLTU. Limbah tersebut memerlukan mesin pelet kayu kapasitas kecil dalam bentuk mobil (mudah bergerak) menjadi pelet kayu.

Alternatif lain untuk produksi pelet kayu adalah melakukan penanaman HTE pada lahan yang cukup luas, sehingga akan menghasilkan pasokan biomassa yang jumlahnya lebih besar dan lebih terjamin, karena disertai kontrak jangka panjang antara pengelola kebun dan PLTU. Kepastian pembeli sangat dibutuhkan pengelola HTE guna mengembangkan infrastruktur, seperti rencana penanaman, akses jalan dari hutan ke pabrik dan ke dermaga khusus loading/unloading biomassa kayu, dan sarana transportasi dari dermaga ke dermaga PLTU. Kepastian pasokan biomassa kayu yang besar dan sesuai spesifikasi yang tertulis dalam kontrak jangka panjang diperlukan pula oleh fihak PLTU.

Dari sisi regulasi dan sertifikasi keberlangsungan bahan baku, pemerintah Indonesia telah memberikan dukungan terhadap pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan memberikan kemudahan dalam legalitas bahan baku kayu dengan mengeluarkan Permen LHK No. P83/MENHLK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Program perhutanan sosial itu membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Bila disetujui, masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari hutan tersebut dengan tetap memperhatikan teknologi pengelolaan hutan yang ramah lingkungan.

Permintaan Pelet Kayu

Perkiraan permintaan pelet kayu dunia terus menaik hingga 54juta ton pada tahun 2024, sedangkan pada tahun 2018, pelet kayu yang diproduksi 52,7juta ton (termasuk 17,7juta ton dari Tiongkok). Laju pertumbuhan pasar pelet kayu global naik sekitar 11,6% (dalam 2012-2018). di Asia, Potensi permintaan industri pelet kayu yang sungguh besar datang dari Korsel dan Jepang. Korsel membutuhkan pelet kayu 2,88juta ton tahun 2020 untuk produksi listrik. Sementara, Jepang terus menaikkan permintaan pelet kayu hingga mencapai 5,8juta ton pada tahun 2030, karena pemerintah Jepang berencana mengganti batubara secara bertahap dengan pelet kayu. Pada tahun 2019, pemasok utama pelet kayu ke Jepang adalah Vietnam (tahun 2018, Kanada). Terlihat bahwa impor pelet kayu Jepang dan Korsel tumbuh secara eksponensial. Sebelumnya, pada tahun 2017, Impor Korsel 2,4juta ton (20 kali impor tahun 2012), sedangkan impor Jepang > 0,5juta ton (7 kali impor tahun 2012) (lihat Gambar di bawah).

Gambar 6. Impor pelet kayu Jepang dan Korsel tahun 2017

Bagaimana kebutuhan pelet kayu & pelet/serabut sampah di Indonesia? Daftar di bawah menampilkan contoh kebutuhan BB batubara dan 1% biomassa pada PLTU jenis boiler PC & CFB di seluruh Indonesia, dan 100% biomassa untuk boiler jenis Stoker.

Tabel 1. Daftar PLTU di Indonesia (sumber: PLN)

Pelet kayu itu bersifat higroskopik yang rentan terhadap air dan terdegradasi secara biologis. Proses tambahan dalam proses penyiapan pelet kayu yang disebut proses torefaksi basah (Hydrothermal Treatment) diperlukan, agar sifat pelet kayu yang semula suka air diubah menjadi benci air, sekaligus menurunkan kadar air, abu, khlorin dan sulfur, sehingga mendekati karakteristik arang dan batubara, yang tahan cuaca dan mudah dikirim. Dari segi perizinan, pelet yang ditorefaksi basah dianggap tidak berbahaya (non Hazardous good) meski saat pengiriman masih perlu registrasi dokumen REACH (Registration, Evaluation, Authorization & Restriction of Chemicals).

Aneka mesin pelet kayu untuk memproduksi pelet kayu dari berbagai biomassa di dunia telah banyak diproduksi oleh beberapa negara, salah satunya adalah perusahaan TAICHANG yang berasal dari kota Jinan, Provinsi Shandong, Tiongkok. Perusahaan ini menjadi produsen/pemasok mesin-mesin skala besar yang ramah lingkungan sejak tahun 2004 yang mengintegrasikan kegiatan litbang (R&D), produksi, pemasaran dan pelayanan. Produk utamanya adalah mesin pelet kayu yang kualitasnya telah memenuhi sertfikat ISO9001, CE, EPA, paten sertifikasi SGS, dan TUV. Mesin lainnya yang diproduksi adalah mesin konstruksi penghancur dan daur-ulang limbah, mesin pakan, mesin pupuk organik.

TAICHANG berkantor pusat di Kawasan Industri yang bernama Zhangqiu Xusheng Industrial Park, memiliki total investasi sekitar USD 8 juta (Rp.112M), menempati areal sekitar 4000m2 dan memiliki peralatan modern dan 200 staf/pekerja yang terlibat dalam lebih dari 30 tim litbang teknologi yang unggul dengan pengalaman lebih dari 10 tahun. Gambar mesin produksi pelet kayu Taichang yang terdiri atas Wood Chipping machine (mesin Serpih Kayu), Hammer Mill Machine (Mesin lumat kayu), Biomass Rotary Dryer Machine (Mesin Pengering Putar Biomassa), Wood Pellet Mill (Mesin Pelet Kayu), Wood Pellet Cooler Machine (Mesin pendingin Pelet Kayu), Wood Pellet Production Line (Jalur Produksi Pelet Kayu) dapat dilihat di bawah.

Gambar 7. Katalog mesin pelet kayu Taichang

Video 1. Pengenalan pabrik mesin pelet kayu Taichang
Gambar 8. Mesin Taichang dipakai di Indonesia, 3 ton/jam
Gambar 9. Jalur Produksi Pelet Kayu Taichang
Video 2. Mesin Pelet SKJ350 dengn Umpan Rumput Raja

Vedio 3. Desain Mesin Pelet anyar

Video 4. Dua mesin pelet kayu TCZL560

Video 5. Mesin Pelet dengan Umpan Serbuk Gergaji

Video 6. Mesin pelet kapasitas kecil TCZL250

Video 7. Mesin pelet kayu harga murah

Video 8. Mesin Lawas Pelet Kayu kapasitas kecil

Video 9. Mesin pelet kayu Taichang di Pilipina.

Video 10. Mesin Pelet Kayu kapasitas amat kecil.

Video 11. Mesin pelet kayu baru (2020)

Bila pembaca tertarik dengan mesin-mesin buatan Taichang, silahkan hubungi perwakilan

 

Contoh perhitungan ——————————

Q: Berapa ton kebutuhan pelet kayu supaya menghasilkan 1MW listrik?

A: untuk menjawab pertanyaan ini, perlu data konversi: 1 kcal/kg = 4,1868kJ/kg = 4,1868 MJ/ton; 3600 MJ=1 MWh; 1 tahun=333 hari.

Misalnya pelet berasal dari kayu kaliandra (merah) dengan kandungan energi 4.600kcal/kg (19.259 MJ/ton). Bila efisiensi boiler dianggap 85%, maka energi yang dihasilkan 0,85 x 19.259 MJ = 16.370 MJ = 15.407/3600 = 4,55 MWh (thermal). Bila efisiensi turbin 95%, maka energi yang dihasilkan = 0,95 x 4,55 MWh = 4,3225MWh (thermal); Bila uap diubah ke energi listrik dengan efisiensi 33%, maka energi listrik yang dihasilkan generator = 4.3225/3 MWh = 1,441 MWh(listrik). jadi, 1 ton pelet kayu (kaliandra) menghasilkan listrik 1,441MWh.

Bila PLTU batubara diganti PLTBm dengan BB pelet kayu (kaliandra) 100% (4.600kkal/kg), maka kapasitas 1 MW menghasilkan 1 x 24 MWh = 24 MWh, yang memerlukan 24/1,441ton = 17 ton pelet kayu per hari (5.661 ton/tahun). Bahan baku kayu basah (kadar air 40%) yang diperlukan = 17/0,6 = 28,33 ton/hari.

Bila kandungan energi pelet kayu lainnya dengan kandungan energi rerata 4.000 kcal/kg, maka PLTBm 1 MW membutuhkan pelet kayu = 17 x (4.600 / 4.000) ton = 19,55ton pelet kayu (6.510 ton/tahun). Bahan baku kayu basah (kadar 40%) yang diperlukan = 19,55/0,6 = 32,58 ton/hari.

PLTBm Pacitan (2x315MW)

Contoh: PLTBm Pacitan membutuhkan BB pelet kayu (kaliandra, 4.600kkal/kg) = (2×315) 17 ton = 10.710 ton/hari (3,57juta ton/tahun). Pelet kayu sebanyak ini memerlukan Pabrik pelet kayu yang berkapasitas amat besar, didesain 20 titik, yang berkapasitas 12 x 3 ton/jam per unit dan bekerja 16 jam/hari, sehingga mampu memproduksi 20 x 12 x 3 ton/jam x 16 jam/hari = 11.520 ton/hari (diharapkan 1 unit standby, sebagai cadangan bila ada mesin yang rusak).

Selain itu, bila ingin mengembangkan HTE dengan pilihan tanaman Kaliandra merah basah yang dapat diproduksi optimum sekitar 20ton/Ha/tahun, maka

1) kaliandra basah diperlukan 10.710/0,6 = 16.850 ton/hari atau 16.850 x 333 = 5.611.050 ton/tahun;

2) luas lahan yang diperlukan sekitar 5.611.050/20 = 280.553 Ha;

3) Untuk memperoleh pelet kayu sebesar 10.710 ton/hari, kebun kaliandra yang harus dipanen per hari sekitar 280.553/333 = 842,5 Ha.

Model mesin pelet kayu buatan Taichang yang memenuhi itu adalah LKJ850, daya 185 kW (220V), kapasitas 2,5-3,5 ton/jam, berat 14,5 ton, ukuran 3,3×1,4×3,1m. Sementara, daya listrik yang diperlukan untuk 20 titik dan satu grup berisi 12 unit mesin pelet kayu : 185kW x 12 x 20 = 44,4MW (besar). Daya listrik tersebut akan dipasok oleh PLTU sekitar 44,4/ (2×315) (100%) = 7%.

 

 

Comments


发表回复


您的电子邮箱地址不会被公开。 必填项已用*标注