Saturday, September 30, 2023
Mesin Pelet Kayu Indonesia

Pra Studi Kelayakan Pabrik Wood pellet (Pelet Kayu)

Limbah biomassa di I…


Limbah biomassa di Indonesia amat melimpah. Hal itu terlihat bahwa sampah perkotaan (timbulan sampah nasional di TPA ~300juta ton/tahun), limbah agro industri (replanting sawit ~55juta m3/th atau 27,6juta ton/th, replanting karet ~10juta m3/th atau 5juta ton/th), HTI / Hutan Tanaman Industri (luas yang siap ~200.000Ha; luas lahan sub-optimal ~2juta Ha), dan limbah industri kayu (serbuk gergaji ~18% dari bahan baku) adalah biomassa yang dapat diubah menjadi RDF (Refused Derived Fuel) guna dimanfaatkan sebagai bahan bakar co-firing dalam boiler (terutama jenis pulverized coal) pada 114 PLTU batubara (18.154 MW) dan bahan baku industri (34 kiln semen, dll). Teknologi co-firing biomassa hingga 5% tidak memerlukan modifikasi pada peralatan pembangkit, karena parameter operasi masih terpantau aman, dan penurunan temperatur gas buang tidak terjadi aglomerasi. Selain itu, kualitas emisi diperbaiki, sehingga memenuhi baku mutu emisi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Biomassa berupa serbuk gergaji / serpih kayu / pelet kayu / serabut sampah, dll dicampur dengan batubara menggunakan peralatan penggiling (grinding) dan pengumpan (feeder) ke dalam boiler yang sama maupun terpisah untuk dibakar, sehingga menghasilkan uap bolier. Teknologi itu disebut teknologi co-firing pada PLTU batubara mulai dari PLTU skala kecil (Belitung) hingga PLTU skala besar (Paiton-9, 660 MW).

Kementerian ESDM dalam siaran persnya No.092.Pers/04/SJI/2020 tanggal 27/02/2020 menjelaskan bahwa peningkatan EBT (energi baru terbarukan) salah satunya dapat dilakukan menggunakan teknologi co-firing pada PLTU batubara dengan memanfaatkan biomassa sebagai substitusi (campuran) batubara. Biomassa itu berupa pelet kayu (wood pellet, WP) dan pelet/serabut sampah yang dicampurkan ke batubara dengan komposisi sekitar 1-5%. Hal ini dipertegas lagi oleh siaran pers kementerian ESDM No.280.Pers/04/SJI/2020 tanggal 17/09/2020 tentang terobosan co-firing biomassa untuk memenuhi target tambahan bauran energi 1-3% pada tahun 2025.

Hal itu diantisipasi oleh para pengusaha dengan menyiapkan pabrik WP dengan cara 1) memanfaatkan bahan baku murah, misalnya limbah kayu dari kegiatan penebangan kayu dan industri perkayuan yang berupa serasah, cabang, ranting, limbah pabrik kayu lapis/plywood, dan bahan baku mahal seperti kayu cepat panen dari pemanenan hasil hutan tanaman energi (HTE) (misalnya KM / kaliandra merah); 2) menyiapkan mesin pelet kayu, bila mungkin buatan dalam negeri yang relatif murah, atau impor dari luar negeri (misalnya buatan Taichang) yang biasanya relatif mahal.

Akan tetapi, sebelum pabrik WP itu didirikan perlu dilakukan studi awal sederhana yang meliputi bahan baku, jumlah bahan baku yang diperlukan, mesin WP, kepastian off-taker produk WP (misalnya PLTU batubara), dan sumber daya manusia yang sesuai keahliannya guna mengetahui apakah pabrik yang akan dibangun itu layak atau tidak.

Pra Studi Kelayakan pabrik produksi WP 3 ton/jam (24.000 ton/tahun).

Bahan baku. Bahan baku selain murah, perlu dipilih yang memiliki nilai kalor > 3943,5 kkal/kg (>16,50 MJ/kg), kadar air maks 10% untuk rumah tangga, 12% untuk industri, dan kadar abu maks 5% (zat terbang < 75/80%, karbon tetap >14%). Itulah spesifikasi WP yang termuat dalam SNI 8675:2018. Akan tetapi, persentase kadar Sulfur, Khlorin, dan Nitrogen tidak disebutkan dalam SNI 8675 : 2018. Oleh karena itu, unsur-unsur yang belum diuji dalam SNI itu perlu diamandemen di masa depan, dan Kementerian ESDM dan PT PLN telah berkomitmen untuk mengamandemen SNI itu (RSNI tersebut tertera dalam Tabel 2 dan Tabel 3 di bawah). Sementara, dalam spesifikasi standar Eropa EN 14961-2, disinggung bahwa kadar Sulfur maks 0,04%, khlorin maks 0,03%, Nitrogen maks 1,0%, kadar air maks 10%, dan kadar abu maks 3% yang kadang-kala digunakan sebagai pembanding bila ingin memproduksi WP di dalam negeri. Bila melihat spesifikasi bahan bakar versi pabrikan PLTU, maka impuritas dalam bahan bakar dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1.Parameter BB dalam Buku manual Pabrikan.

Usulan spesifikasi RSNI tertera dalam 2 Tabel berikut.

Tabel 2. Usulan Spesifikasi RSNI.
Tabel 3.Usulan Spesifikasi RSNI (lanjutan).

Dari usulan RSNI di atas, terlihat bahwa kadar abu, sulfur dan khlorin ternyata lebih longgar dibandingkan spesifikasi dari pabrikan PLTU dan industri semen. Namun, para pengusaha tetap berjuang keras untuk membuat produk SRF/RDF yang memenuhi spesifikasi fabrikan PLTU. Hal itu akan lebih ketat lagi bila pengusaha ingin mengekspor produk SRF/RDF ke luar negeri. Oleh karena itu, bila kadar abu, sulfur, dan khlorin teranalisis masih tinggi, pengusaha perlu melakukan upaya proses penurunan kadar tersebut dengan menambah satu alat proses lagi.

Penurunan kadar abu (limbah pertanian biasanya mengandung Ca, P, K, Si), sulfur, dan khlorin dapat dilakukan menggunakan teknologi wet torrefaction (Hydrothermal Treatment) bahkan ditambah dengan proses water leaching. Contoh, TKKS (Tankos) dikenai suhu 180-230 oC selama 30 menit menggunakan media uap jenuh dengan atau tanpa asam sitrat dan katalis ion logam.

Sementara, batubara muda yang boleh digunakan di PLTU pada umumnya adalah bernilai kalor rendah (rerata 5.242 kkal/kg, kadar air 23%, volatile matter 30,3%, kadar abu 7,8%, kadar Sulfur 0,4%). Di lain fihak, geokimia batubara untuk industri semen adalah bernilai kalor lebih tinggi >6.000kkal/kg, volatile matter 36-42%, kadar air maks 12%, kadar abu maks 6%, kadar sulfur maks 0,8%. Kadar abu yang tinggi justru membantu meningkatkan kualitas produk semen yang dihasilkan. Bila dibandingkan dengan batubara muda untuk PLTU batubara, maka WP menjadi bahan bakar alternatif yang menarik untuk mengganti batubara muda, karena kadar sulfur dan kadar abu dalam kayu yang rendah.

Jenis kayu yang dipilih sebagai pengganti batubara muda harus yang cepat tumbuh dan mampu tumbuh di tanah kritis dan bekas tambang, misalnya, kaliandra merah (4600 kkal/kg, air 1,43-3,66 %, abu 3,3-6,46 %), gmelina (4.282 kkal/kg, air 9,24%, abu 1,47%), lamtoro (4.197 kkal/kg, air 10,13%, abu 5,78%), waru (4.266 kkal/kg, air 10,33%, abu 1,48%), gamal (4.168 kkal/kg, air 23,97%, abu 2,97%), dll. Limbah pertanian yang banyak dipilih adalah bagas/ampas tebu (4476 kkal/kg), bambu (4105 kkal/kg), kulit kacang tanah (4644 kkal/kg), dll. Sementara, kayu dan limbah pertanian yang memiliki nilai kalori < 4000 kkal/kg adalah sekam padi (3.300-3.600 kkal/kg), sengon buto (3,948 kkal/kg, air 14,21%, abu 1,08%), trembesi (3.926 kkal/kg, air 10,36%, abu 1,92%), turi (3.965 kkal/kg, air 6,83%, abu 0,62%), jerami padi/gandum (3100 kkal/kg), sampah daun (2.900-3.400 kkal/kg, air 12%, abu 6,5%), rumput (3619-4285,7 kkal/kg), tongkol jagung (3.500 kkal/kg), tandan kosong sawit (tankos) (3354 kkal/kg), dll.

Bila HTE Kaliandra merah (KM) yang dipilih, maka diperlukan luasan yang memadai agar mampu melayani kebutuhan WP sesuai desain yang telah ditentukan. Misalnya kapasitas pabrik yang diperlukan sekitar 3 ton WP per jam, maka jumlah WP yang diperlukan setahun adalah 3 x 8.000 ton/tahun atau 24.000 ton/tahun. Hal ini memerlukan bahan baku KM basah (kadar air 40%) sekitar 24.000 / 0,6 = 40.000 ton KM basah per tahun. Bila satu Ha lahan mampu memproduksi KM basah sebesar 20 ton per Ha per tahun, maka lahan yang harus disediakan sekitar 40.000 / 20 = 2000 Ha. Artinya, setiap hari KM (1 tahun = 333 hari) yang dapat dipanen sekitar 2000 Ha / 333 hari = 6 Ha/hari. Pemanenan KM dilakukan secara berurutan setiap 6Ha/hari, sehingga pemanenan kayu KM berikutnya akan kembali ke tempat semula setahun kemudian (sekali setahun), meski sesungguhnya pemanenan dapat dilakukan dua kali setahun. Akan tetapi, perlu diingat bahwa ada kelemahan / variabel ketidak-pastian pada semua hasil hutan, terutama pada harga dan keberlanjutan produksi akibat adanya ancaman hama penyakit, dan kemarau panjang.

Perlu diketahui pula bahwa hutan KM memiliki manfaat lain atau menghasilkan produk samping, yaitu daunnya berguna untuk pakan kambing /sapi yang biasanya diberikan kepada ternak dalam keadaan segar dan sedikit layu (dikeringkan/dilayukan setidaknya 2 hari guna menurunkan kadar air dan kadar tanin), kemungkinan pada saatnya akan memerlukan teknologi silase untuk menyimpan kelebihan daun kaliandra dalam silo yang telah disediakan (bank pakan). Selain itu, bunga kaliandra berguna untuk ternak lebah yang menghasilkan madu kualitas tinggi. Di sisi lain, limbah / kotoran kambing dari peternakan juga dapat menghasilkan produk biogas, pupuk organik cair, dan tambahan pakan ikan yang semuanya dapat menciptakan lapangan kerja baru. Usaha lainnya dapat berupa bisnis kuliner kambing dan ikan yang cukup menjanjikan.

Proses produksi WP terdiri atas beberapa tahap : Crushing (pengecilan ukuran bahan baku), Hammer Mill (pelumatan bahan baku), Drying (pengeringan), Screener (Pengayakan), Pellet Mill (pembentukan pelet kayu), Cooling (Pendinginan), dan Packing (pengepakan).

Analisis Ekonomi Sederhana pabrik WP

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba, yang dalam hal ini hanya menggunakan ROI (Return on Investment) yang dihitung dari laba bersih perusahaan per tahun dibagi dengan nilai investasi perusahaan WP. Makin tinggi nilai ROI, makin besar keuntungan yang diperoleh perusahaan. ROI perusahaan dianggap menguntungkan bila persentasenya di atas 20%.

PP (Payback Period), kebalikan dari ROI, adalah lama waktu pengembalian dana investasi. PP dihitung dengan cara nilai investasi awal perusahaan WP dibagi dengan laba bersih perusahaan per tahun. Jika periode pengembalian lebih cepat (<5 tahun), pabrik WP dapat disebut layak dibangun, dan bila pengembalian lebih lama (>5 tahun) menjadi tidak layak dibangun.

Analisis titik impas BEP (Break-even point) digunakan untuk menentukan tingkat produksi ketika perusahaan tidak untung dan tidak rugi. Perusahaan harus menjual produk WP lebih besar dari titik impas untuk memperoleh laba. BEP (titik impas WP ton/tahun) dihitung dengan cara Biaya tetap produksi WP (Rp/tahun) dibagi dengan Pengurangan harga WP (Rp/ton) dengan biaya variabel WP (Rp/ton).

Perusahaan WP memerlukan pra-analisis eknonomi yang terkait dengan 1) harga bahan baku dan jarak lokasi bahan baku terhadap pabrik; 2) operasi kegiatan produksi WP, misalnya, efisiensi alat, produktivitas, biaya produksi dan profitabilitasnya, dan 3) pinjaman dana dari bank untuk membeli mesin WP.

Biaya Bahan Baku. 1) Bila direncanakan ingin membuat pabrik WP dari HTE (misalnya KM, 4600 kkal/kg) dengan kapasitas 3 ton/jam, maka harga bahan baku (WP basah) tidak melebihi Rp.450.000,-/ton WP atau Rp.270.000,-/ton kayu basah dengan jarak kebun KM maksimum 80 km dari lokasi pabrik; 2) Bahan baku diutamakan menggunakan sisa-sisa ranting/ cabang /serasah kayu HTI (akasia, sengon, dll) dari pabrik kayu lapis atau plywood dengan lokasi pabrik WP yang berdekatan dengan pabrik kayu lapis, sehingga dimungkinkan harga bahan baku dapat mendekati nol. Hal itu dapat menaikkan pendapatan perusahaan yang signifikan; 3) Bahan baku diupayakan berasal dari limbah pertanian yang tidak berharga, misalnya tandan kosong sawit, sehingga harga bahan baku dapat ditekan serendah-rendahnya.

Biaya Operasi kegiatan produksi WP. Biaya produksi terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap berupa biaya penyusutan dan bunga modal, gaji dan upah tak langsung; biaya pemeliharaan, biaya perbaikan dan asuransi modal tetap perusahaan (mesin pabrik, bangunan, alat transportasi, dll); biaya pajak dan pembebanan lainnya, biaya overhead (sewa gudang, sewa tanah, air, alat komunikasi, alat tulis kantor, administrasi umum, dan pengobatan karyawan). Biaya tetap dapat diasumsikan sekitar 50 % per ton dari harga penjualan WP. Sementara, biaya variabel adalah biaya bahan baku utama, bahan penolong, upah tenaga kerja langsung dan biaya transportasi, yang dapat diasumsikan sekitar 40 % dari harga penjualan per ton WP.

Bila harga WP berhasil dijual Rp.1400/kg (waktu operasi pabrik WP setahun selama 333 hari atau 8000 jam), maka pendapatan kotor yang dapat diperoleh : 3 ton/jam x 8000 jam x Rp.1,4juta/ton = Rp.33,6 M/tahun. Bila biaya operasi, bahan baku, dan cicilan bunga bank diasumsikan sekitar 90 % dari harga penjualan WP per tahun (Rp. 30,24 M/tahun), maka pendapatan bersih sesudah pajak adalah 33,6M x 0,1 = 3,36M/tahun. Sementara, pajak sudah dimasukkan ke biaya tetap. Bila diasumsikan harga mesin WP (kapasitas 3 ton/jam) sekitar Rp.5M dan investasi infrastruktur Rp.5M, maka Profitabilitas ROI = (laba bersih / nilai investasi) (100%) = 3,36/10 x 100% = 33,60 %. Sementara, waktu pengembalian cicilan bank, PP = Payback Period = nilai investasi / laba bersih, adalah 10/3,36 = 2,98 tahun.

Selanjutnya, bila biaya tetap diasumsikan 50% dari harga jual WP per tahun , maka titik impas, Break-even Point, BEP = Biaya tetap produksi WP (Rp/tahun) / (harga WP/ton – biaya variabel/ton) = 0,5 x Rp.33,6M/ tahun x (ton) / (Rp.1,4juta – 0,4 x Rp.1,4juta) = (16800juta/0,84juta) ton/tahun = 20.000 ton/tahun, perusahan WP tidak untung dan tidak rugi. Bila produksi di bawah BEP 20.000 ton/tahun, maka perusahaan akan merugi.

Bila perhitungan itu disimpulkan, dan hanya dengan melihat harga bahan baku, biaya operasional dan cicilan pinjaman bank, maka harga produk WP tergantung kepada 3 biaya: 1) biaya pembelian bahan baku dari HTE (kebun KM / Kaliandra merah) (~Rp.450.000/ton WP); 2) Biaya normal Operasi pabrik (~Rp.400.000/ton WP); 3) Pengembalian Pinjaman bank (~Rp.410.000/ton WP). Harga jual WP sekitar Rp.1400/kg (Rp.1,4juta/ton) dengan ROI = 33,6%; PP = 2,98 tahun; BEP = 20.000 ton/tahun. Di sisi lain, bila pabrik tidak membeli bahan baku dari fihak ketiga dan bukan dari hutan tanaman energi, misalnya bahan baku tersebut berasal dari limbah pabrik sendiri (pabrik kayu lapis/plywood), limbah pertanian, misalnya tandan kosong sawit, dll., maka laba perusahaan akan meningkat. Selain itu, bila cicilan pengembalian pinjaman bank (payback period) selesai ditunaikan, maka laba perusahaan akan meningkat pula. Dari perhitungan di atas, pabrik WP berkapasitas 3 ton/jam layak didirikan.

Detil biaya tetap (50% dari harga jual WP/tahun)

Pemakaian listrik di jalur produksi WP. Mesin-mesin produksi itu terdiri atas: 1) Mesin Serpih kayu (Crushing); 2) Mesin Lumat (Hammer Mill); 3) Mesin Pengering (Drying); 4) Mesin Ayak (Screener); 5) Mesin Pelet (Pellet Mill); 6) Mesin Pendingin (Cooling); 7) Mesin Kemas (Packing).

Peralatan yang diperlukan untuk memproduksi WP tertera dalam dua Gambar di bawah.

This image has an empty alt attribute; its file name is jalur-tai.jpg
Gambar 1. Jalur Produksi Pelet Kayu (WP) Taichang

WOOD-PELLET-PRODUCTION-LINE
Gambar 2. Pabrik Produksi Pelet Kayu (WP).

 ModelKapasitas
(ton/jam)
daya (kW)Keterangan
Drum chipperTCGX2165-865Taichang
Hammer MillTCGX65X552-437Taichang
Dryer MachineTCO2.2×241,82-3,6560Taichang
Screener (ayak)  5 
Wood Pellet MillLKJ8502,5-3,5185 (220V)Taichang
Cooler MachineTCLQ-2.53-513,75Taichang
Packing  5 
Belt Conveyor  15 
1kWh=Rp.1500,- Total385,75Rp.4,63 M/th
(13,78%)
Tabel 4. Daya yang diperlukan Mesin WP 3 ton/jam.

Biaya penyusutan/depresiasi dan bunga modal selama 5 tahun diasumsikan Rp.6M, yaitu Rp.1,2M/tahun (3,57%); gaji dan upah tak langsung diasumsikan Rp.1,2M/tahun (3,57%); biaya pemeliharaan Rp.1,2 (3,57%); biaya perbaikan dan asuransi modal tetap perusahaan (mesin pabrik, bangunan, alat transportasi, dll) diasumsikan sekitar Rp.2,4M (7,14%); biaya pajak diasumsikan sebesar 25% dari pengurangan pendapatan kotor dan biaya tetap + variabel dan pembebanan lainnya = 25% x 0,1 x Rp.33,6M = Rp.0,84M (2,5%), biaya overhead (sewa gudang, sewa tanah, air, alat komunikasi, alat tulis kantor, administrasi umum, dan pengobatan karyawan) sekitar Rp.5,33M (15,87%). Total biaya tetap dapat diasumsikan sekitar 50 % per ton dari harga penjualan WP. Sementara, biaya variabel adalah biaya bahan baku utama, bahan penolong, upah tenaga kerja langsung dan biaya transportasi, yang dapat diasumsikan sekitar 40 % dari harga penjualan per ton WP.

Detil Biaya Variabel (40% dari harga jual WP/tahun)

Biaya Bahan Baku diperkirakan Rp.450.000/ton atau Rp.10,8M/tahun (32,14%); Biaya upah tenaga kerja langsung untuk 10 orang sekitar Rp.1,2M (3,57%), dan biaya transportasi Rp.1,44M (4,29%).

Contoh penyiapan WP untuk Co-firing WP di PLTU Pacitan

Bila teknologi co-firing WP 5% diterapkan pada PLTU batubara, misalnya pada PLTU Pacitan (2 x 315MW), beberapa pertanyaan yang muncul adalah:

Q: Bagaimana perusahaan dapat memenuhi permintaan bahan bakar WP pada PLTU Batubara dengan teknologi co-firing WP sebanyak 5% ? Berapa Ha lahan yang diperlukan untuk menanam KM ? Berapa Ha pemanenan kayu KM per hari?

A: PLTU Pacitan (2×315 MW) membutuhkan batubara sekitar 8640 ton/hari. bila dicampur dengan WP 5%, maka berat WP yang diperlukan sekitar 432 ton/hari. Oleh karena itu, maka

  • Jumlah ini dapat dipenuhi oleh 6 unit mesin pelet yang berkapasitas 3 ton/jam (6 x 3 x 24) = 432 ton/hari.
  • Kebutuhan kayu KM basah dengan kadar air 40% = 432/0.6 = 720 ton KM basah per hari, atau 239.760 ton/tahun, sehingga diperlukan lahan (dengan asumsi: 1 Ha dapat memproduksi 20 ton/ha/tahun) sekitar 239.760/20 = 11.988 Ha.
  • Pemanenan kayu KM seluas = 11.988 Ha /333 = 36 Ha/hari.

Pemanenan/pemangkasan kayu KM yang pertama dilakukan setelah KM berumur 1,5 tahun dengan jarak minimum 50 cm di atas tanah dengan diameter batang 3-5 cm (bila mungkin pada akhir kemarau (supaya pada musim hujan trubusan sudah mulai muncul). KM akan cepat tumbuh dengan kandungan lignin tinggi sehingga mengurangi biaya perekatan pelet dan meningkatkan potensi thermal. Nilai kalor 4.600 kkal/kg kayu kering dan 7.200 kkal/kg arang. Jarak tanam adalah 1 x 1 m atau 1 x 2 m. KM dapat ditanam di sela-sela pohon kelapa (160 pohon/Ha).

Produk Samping: Daun Kaliandra Merah dan Madu

Gambar 3. Tanaman Kaliandra Merah.

Pemangkasan KM akan menghasilkan produk samping daun KM yang sangat besar yang kaya protein (20-25%) dengan pemberian hanya 30-40% berat segar seluruh makanan kepada hewan ternak ruminansia (kambing/sapi) (Lihat Gambar 3). Kecernaan KM oleh ternak tersebut sekitar 30-60% yang dipengaruhi oleh kadar tanin yang dikandungnya. Kadar tanin atau senyawa polifenol dalam KM (1,58-11%) berguna sebagai anti mikroba terutama cendawan patogen Rhizoctonia. Namun, tanin dapat menurunkan kualitas protein dalam daun dengan cara mengikat protein sebagai senyawa kompleks atau polimer lain seperti selulosa, hemiselulosa, dan pektin untuk membentuk ikatan stabil, sehingga tidak mudah dicerna. Tanin terbagi 2 bagian, tanin terhidrolisis yang dapat diuraikan oleh asam atau enzim tanase, dan tanin terkondensasi yang agak sulit terurai. Daun dilayukan beberapa jam guna menurunkan kadar taninnya dan dianginkan beberapa jam di bawah naungan untuk penyimpanan jangka panjang. Cara lain untuk menurunkan kadar tanin adalah kaliandra dicampur dengan tanaman legum lainnya misalnya gamal. Cara pemberian pakan campuran disebut co-feeding yang berguna untuk mencegah sebagian protein terlarut dalam gamal agar tidak dipecah di dalam rumen dengan mengikatnya dalam tanin kaliandra. Kemudian ikatan tanin protein dapat dipecah dalam abomasum (bilik keempat dalam perut hewan ruminansia) yang memiliki pH rendah, sehingga protein dapat dimanfaatkan langsung oleh ternak.

Sebelum kayu dipangkas, daun juga dapat dipanen untuk pakan ternak. Hadirnya produk daun yang jumlahnya amat besar memancing pengembangan industri pakan ternak dan industri ternak kambing/sapi yang pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja baru, termasuk industri kulinernya.

Bunga KM (lihat Gambar 3) juga merupakan sumber pakan penting yang disukai lebah madu.

Gambar 4. Contoh produk Madu dari Kaliandra Merah.

Para petani lebah mengelola lebih dari 50.000 sarang lebah buatan yang diperkirakan dapat menghasilkan 1 ton madu per tahun per ha kebun KM. Bila KM ditanam di lahan seluas 11.988 Ha, maka madu yang dapat diproduksi 11.988 ton per tahun. Bila harga madu ditaksir hanya sekitar Rp.70,000/kg (Gambar 4), maka pendapatan kotor yang diperoleh dari industri madu sekitar 11.988 ton/tahun x 1000 kg/ton x Rp.70.000/kg = Rp. 839,16M/tahun. Pendapatan bersih sesudah pajak (pengeluaran pertahun 30%/tahun, pajak 25%) kira-kira Rp.839,16 x 0,7 x 0,75 = Rp.440,56 M/tahun. Selain itu, populasi lebah di kebun KM juga membantu penyerbukan kopi, sehingga panen kopi meningkat 2-3 kali setahun.

 

Penyiapan pelet/serabut sampah

Jumlah sampah di TPA Indonesia sekitar 864.469 ton/hari, sedangkan yang tidak terkelola: 3.964.946 ton/hari. Bila pelet/serabut sampah dipilih sebagai co-firing WP 1% pada PLTU Pacitan (2 x 315MW, batubara = 8640 ton/hari), maka kebutuhan pelet/ serabut sampah (RDF = Refused Derived Fuel) sekitar 86,4 ton/hari dengan syarat nilai kalor pelet/serabut sampah setara dengan nilai kalor batubara. Bila fasilitas RDF di Pacitan setara dengan fasilitas di TPA Cilacap (lihat Gambar 5 dan Gambar 6) (produk RDF sekitar 34 % per 1 ton sampah basah), maka sampah basah yang diperlukan sekitar 86,4/0,34 = 254 ton/hari.

Gambar 5. Alur Olah Sampah di TPST, Cilacap.

Gambar 6. Alur Olah sampah jadi RDF, Cilacap

Gambar 7. Produk dan Kualitas RDF, Cilacap.

Kadar khlorin, sulfur dan abu dalam RDF di atas (Gambar 7) memenuhi spesifikasi RSNI kelas 3, yang cocok untuk pabrik semen, dan PLTU Batubara.

Pengolahan sampah lama (Landfill yang sudah tidak mengandung biogas) di Bantargebang hanya berfungsi memisahkan tanah (yang berukuran <30 mm, lalu dikembalikan ke TPA), melalui proses ayak, sedangkan plastik dll yang berukuran > 30 mm (tak lolos ayakan) dikirim ke Narogong, Bogor untuk dicacah, lalu diubah menjadi RDF dengan perbaikan spesifikasi (terutama kadar air). Skema olah sampah lama jadi RDF di Bantargebang dan Narogong dapat dilihat dalam Gambar 8 di bawah.

Gambar 8. Alur Olah Sampah Lama jadi RDF di Bantargebang dan Narogong.

Gambar 9. Kualitas RDF sampah Lama (Landfill).

Kualitas RDF sampah lama terlihat dalam Gambar 9 masih mengandung air >37,9%, yang kadar airnya harus diturunkan ke < 25% di Narogong agar masuk ke spek SRNI kelas 3.

Sementara, TPA Pacitan menghasilkan sampah hanya sekitar 30 ton/hari. Guna mencukupi kebutuhan itu, perlu tambahan/kiriman RDF sampah dari beberapa TPA sekitar Pacitan di Jawa Timur seperti Trenggalek (TPA Srabah Bendungan, 30 ton/hari), Ponorogo (TPA Mrican, 39 ton/hari), Magetan (27 ton/hari), Tulungagung (TPA Segawe, 100 ton/hari), Ngawi (Selopuro, 40 ton/hari), dll) atau beberapa TPA kabupaten di Jawa Tengah seperti Wonogiri (Ngadirojo, 39 ton/hari), DIY (TPA Piyungan, 600 ton/hari), Sukohardjo (TPA Mojorejo, 130 ton/hari, Karanganyar (Sukosari, 160 ton/hari), dll. Total sampah basah dari TPA di sekitar Pacitan itu sekitar 1.165 ton/hari, sedangkan sampah basah yang diperlukan PLTU Pacitan hanya 253 ton/hari, maka kebutuhan RDF 1% untuk PLTU Pacitan dapat dicukupi oleh TPA di sekitar Pacitan.

Limbah kayu

PLTU memerlukan serbuk gergaji 5% dari total bahan bakar batubara, yaitu sekitar 8juta ton/tahun. Hal itu dapat dicukupi oleh limbah agro industri (replanting sawit ~27,6juta ton/th, replanting karet ~5juta ton/th), dan luasan HTI yang siap ditanami ~200.000Ha; termasuk luas lahan sub-optimal ~2juta Ha. Bila luasan HTI ditanami kayu kaliandra, maka kayu kering yang bisa diperoleh sekitar 200.000Ha x 20 ton/Ha/tahun x 0,6 = 2,4juta ton/th. Sementara, 2juta Ha lainnya akan dapat memberikan tambahan kayu kering sekitar 2juta x 20 x 0,6 = 24juta ton/th.

Selain itu, ada tambahan serbuk gergaji dari limbah industri penggergajian kayu, industri kayu lapis, industri mebel kayu, dan industri olah kayu secara nasional yang juga melimpah dan perlu diperkirakan.

  • Limbah dari industri penggergajian kayu sekitar 1,4juta m3/tahun (0,84juta ton/th) atau 54,24% dari produksi total kayu gergajian Indonesia (2,6juta m3/tahun).
  • Limbah pada industri kayu lapis sekitar 61,0% berupa potongan kayu 5,6%, serbuk gergaji 0,7%, sampah vinir basah 24,8%, sampah vinir kering 12,6%, sisa kupasan 11,0%, potongan tepi kayu tipis 6,3%. Totalnya 1,5juta ton/th.
  • Limbah industri mebel kayu menghasilkan limbah serbuk gergaji sekitar 679,25 m3 (BPS 2006). Bila densitasnya 600 kg/m3, beratnya sekitar 0,4 ton/th. Serbuk gergaji dengan nilai kalor 4491 kkal/kg punya kandungan selulosa (40-50%), hemiselulosa (20-30%), lignin (20-30%), dan sejumlah kecil zat anorganik lainnya.
  • Limbah dari industri pengolahan kayu sekitar 0,6juta ton/tahun.

Limbah pertanian lainnya yang dapat diubah menjadi RDF adalah:

  • Residu gula (juta ton/th): bagas 10; pucuk 4; daun 9,6.
  • Residu padi (juta ton/th): sekam 12; tangkai 2; jerami 49.
  • Residu kelapa (juta ton/th): tempurung 0,4; sabut kelapa 0,7.
  • Residu kelapa sawit (juta ton/th): tankos 3,4; serat 3,6; cangkang 1,2.

Stok RDF/SRF dari biomassa yang melimpah itu diharapkan dapat mengganti batubara 100%, di masa depan, terutama pada boiler PLTU jenis stoker.

 

Bila pembaca tertarik dengan mesin-mesin buatan Taichang, silahkan hubungi perwakilan

 

Comments


发表回复


您的电子邮箱地址不会被公开。 必填项已用*标注